Pengertian Wayang Jawa Timur

Pengertian Wayang Jawa Timur

Istilah wayang Jawa Timuran ialah konvensi pertunjukan wayang Kulit di wilayah Brangwetan artinya di seberang timur daerah aliran Sungai Brantas yang secara geografis mengacu pada wilayah pusat pemerintahan Majapahit tempo dulu. Daerah yang dimaksudkan adalah Kabupaten Mojokerto, Jombang, Surabaya (Kodya), eks karisedenan Malang (Malang, Pasuruhan, Probolinggo dan Lumajang). Istilah Jawatimuran ini diperkirakan muncul sesudah tahun 1965 dan semakin populer sekitar tahun 1970 –an seiring dengan didirikannya Pendidikan Formal Sekolah Karawitan Konservatori Surabaya.
Tentang istilah yang digunakan untuk menyebut seni pedalangan atau pewayangan di Jawa Timur, sebenarnya di Surabaya khususnya, telah memiliki istilah yang telah lama popular yaitu dengan penyebutanWayang Jekdong suatu istilah yang bersumber dari bunyi kepyak (=Jeg) yang berpadu dengan bunyi kendhang bersama Gong Gedhe. Ada lagi yang menyebut Wayang Dakdong bunyi kendhang dengan bunyi gong besar, yang terjadi ketika sang dalang melakukan kabrukan tangan (berantem) di awal adegan perangan. Namun istilah tersebut tak bisa  merata di seluruh kawasan etnis Jawa Timuran ( di luar kota Surabaya ) karena sebutan tadi timbul bukan dari para seniman dalang itu sendiri tapi dimungkinkan istilah lama itu timbul dari suara penonton, konon istilah ini dilansir oleh dalang terkenal Ki Nartosabdo. Justru bagi dalang yang lebih tua, mendengar sebutan wayang jekdong atau dakdong merasa direndahkan (diejek). Seni Pedalangan Jawa Timuran/Wayang Jawa Timuran itu sendiri, apabila ditinjau secara garis besar, mengenai bahan, peralatan, penampilannya secara fungsional tidak berbeda jauh dengan Seni Pedalangan versi daerah lain (Surakarta, Yogjakarta). Namun secara detail perbedaan-perbedaan itu pasti ada, baik seni rupa wayang, karawitan, cerita maupun penampilan yang berselerakan kedaerahan
Secara teritorialnya Seni Pedalangan Jawatimuran dapat dibagi menjadi 4 versi kecil yakni :

  • Versi Lamongan meliputi Kabupaten Lamongan dan sekitarnya, sering disebut gaya pasisiran .
  • Versi Mojokertoan, meliputi Kabupaten Jombang, Kabupaten Mojokerto dan sekitarnya.
  • Versi Porongan, meliputi daerah Kabupaten Sidoarjo, Surabaya dan sekitarnya.
  • Versi Malangan, meliputi Kabupaten Malang dan sekitarnya.

Ke-4 versi tersebut mempunyai ciri-ciri yang berbeda, namun perbedaannya sangat kecil, kecuali versi Malangan yang setiap penyajian tidak bisa melupakan gamelan pelognya.
Ciri Wayang Jawatimuran
Ada enam ciri khas wayang Jawatimuran yakni :
  • Iringan musik gamelan disajikan dalam empat pathet yakni pathet sepuluh, pathet wolu, pathet sanga dan pathet serang.
  • Fungsi kendang dan kecrek sebagai pengatur irama gending amat dominan. Kultur wayang Jawa Timuran dipilah dalam beberapa subkultur yang lebih khas, mengacu ke estetika etnik (keindahan tradisi lokal) yakni subkultur Mojokertoan, Jombangan, Surabayan, Pasuruhan dan Malangan.
  • Konvensi pedalangan Jawa Timuran hanya menyajikan dua panakawan yakni Semar dan Bagong. Konvensi ini taat pada cerita relief candi Jago Tumpang cerita Kunjarakarna, punakawan hanya dua Semar dan Bagong. Dalam seni tradisional yang lain, punakawan juga dua orang yakni Bancak dan Doyok atau cerita Damarwulan hanya dua yakni Sabdopalon dan Naya Genggong.
  • Dalang Jawa Timuran tidak menyajikan adegan Gara-Gara secara khusus yakni munculnya Semar, Gareng, Petruk dan Bagong pada tengah malam. Kemunculan punakawan dan adegan lawak disesuaikan dengan alur cerita atau lakon yang dipentaskan.
  • Bahasa dan susastra pedalangan Jawa Timuran amat dominan didukung oleh bahasa Jawa dan dialek lokal Jawa Timuran. Maka munculah bentuk sapaan Jawa Timuran, misalnya arek-arek, rika, reyang.
  • Pada awal pertunjukan ki dalang mengucapkan suluk PelunganSuluk Pelungan terkait dengan doa penutup pada adegan tancep yang diucapkan ki dalang yang isinya
    • ki dalang memperoleh berkah dan keselamatan dalam menggelar kisah kehidupan para leluhur.
    • pemilik hajat semoga dikabulkan permohonannya, niat yang suci/tulus dalam selamatan tersebut.
    • Para pendukung pertunjukan wayang (para pengrawit, biyada, dan sinoman) serta semua penonton selalu rahayu, selamat sesudah pementasan tersebut berakhir

Seni Pedalangan Jawa Timuran atau Wayang Jawa Timuran, pada masa sekarang ini memang boleh dikata tidak hidup subur. Ia hidup dalam kawasan etnis seni budaya daerah Jawa Timuran, di antaranya di wilayah Kabupaten Jombang, Mojokerto, Malang Pasuruan, Sidoardjo, Gresik, Lamongan dan di pinggiran kota Surabaya. Ini pun sebagian besar berada di desa-desa, bahkan ada yang bertempat di pegunungan. Dengan masuknya seni budaya dari luar akan berpengaruh  besar terhadap masyarakat untuk tidak mencintai seni budaya daerah setempat. Dalam hal ini terutama kesenian daerah Jawa Timur dengan mudah akan tersingkir minggir, atau setidak-tidaknya akan menghambat kesenian daerah setempat di dalam pelestarian berikut pengembangannya.
Atas dasar pengaruh-pengaruh seperti tersebut diatas, maka tidak sedikit orang menyatakan bahwa hal  itulah yang akan mempercepat proses kemunduran  sementara orang mengkhawatirkan terhadap kepunahannya, bila tidak ada usaha-usaha pembinaan dari  pihak yang berwenang  atau yang merasa handarbeni. Hanya usaha pembinaan itulah yang diharapkan oleh para seniman  dalang Jawatimuran, yang sebagian besar terjadi dari rakyat kecil. Namun rupa-rupanya pembinaan yang diharapkan itupun masih juga langka, sehingga seni wayang Jawa Timuran  tersebut dalam kehidupan seolah-olah hanya bisa berjalan dengan sendirinya, tanpa pengayoman dari siapapun. Instansi Pemerintah  di Jawa Timur yang setiap saat mengadakan suatu pergelaran wayang Kulit purwa gaya Jawa Timuran adalah baru RRI stasiun  Surabaya saja. Ini pun disebabkan  oleh suatu tugas wajib yang harus dilakukan RRI dalam rangka mengisi siaran kesenian daerah, yang hanya diperuntukkan bagi pendengaran  masyarakat Jawa Timuran. Pergelaran-pergelaran yang pengadaannya secara rutin itu patut kita junjung tinggi, namun hal ini belum merupakan suatu  pelestarian, sebab sesuai pertunjukan tanpa ada bekas-bekasnya. Tak ada lagi pembicaraan, perenungan ataupun permasalahan apa-apa, lebih-lebih sampai pada pembinaan.

Share this:

Related Posts
Disqus Comments