Dalam sebuah riwayat yang dituturkan Abu Hurairah, Rasulullah bersabda, “Sekiranya aku punya emas sebesar gunung Uhud ini, niscaya aku tidak akan senang jika sampai berlalu lebih dari tiga hari, meski padaku hanya ada sedikit emas, kecuali akan aku pakai untuk membayar hutang yang menjadi tanggunganku” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Itulah kesederhanaan hidup yang dicontohkan Rasulullah. Beliau adalah tipe manusia yang paling sederhana di kolong jagad ini. Tidak gemar menumpuk harta, kecuali hanya untuk modal hidup. Dapat dipahami jika saat wafat, baju besi beliau digadaikan kepada seorang Yahudi untuk ditukar dengan gandum sebagai warisan bagi keluarga beliau.
Sebagai pemimpin yang menggenggam kekuasaan dan pengaruh besar, tentu Rasulullah mampu hidup bergelimang harta. Tetapi beliau lebih memilih hidup secara sederhana. Posisi terpandang dan disegani seluruh masyarakat Arab tidak lantas beliau manfaatkan sebagai batu loncatan untuk mengeruk kekayaan bagi diri dan sanak famili.
Itulah yang membedakan Rasulullah dengan pemimpin kebanyakan. Beliau menjadi besar karena membesarkan umat. Bukan memperalat umat demi membesarkan nama pribadi. Gelar Al-Amin sudah melekat pada nama beliau sedari muda. Gelar mulia itu diakui oleh kawan sekaligus lawan.
Kesederhanaan juga diajarkan Rasulullah dalam urusan ibadah. Ketika beliau masuk masjid dan mendapati seutas tali memanjang antara dua tiang, beliau bertanya, “Tali apakah ini?” Setelah dijawab bahwa tali itu milik Zainab yang digunakan untuk bertopang ketika ia lelah melakukan shalat, Rasulullah lantas bersabda, “Lepaskan saja. Hendaklah seseorang melakukan shalat ketika sedang bersemangat. Jika sudah letih, hendaklah ia tidur” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Demikian pula ketika beliau menasihati Abdullah bin Amr bin Al-Ash yang menyatakan hendak menghabiskan siang untuk berpuasa dan malam untuk shalat sunnah, sepanjang hidup. “Jangan begitu. Berpuasalah dan berbukalah, tidurlah dan bangunlah, karena sungguh untuk tubuhmu ada hak atas dirimu, kedua matamu ada hak atas dirimu, isterimu ada hak atas dirimu, untuk tamumu juga ada hak atas dirimu.” Ketika Abdullah bin Amr bin Al-Ash bersikeras ingin memperbanyak puasa sunnah, beliau bersabda, “Kalau begitu berpuasalah seperti Nabi Dawud-berpuasa sehari, berbuka sehari-dan jangan engkau tambah lagi dari itu” (HR. Al-Bukhari dan Muslim).
Betapa indah menjalani hidup demikian. Kita bisa bekerja tanpa harus silau terhadap harta. Selalu ada jeda untuk melangitkan setiap urusan dunia melalui rangkaian ibadah. Kita juga tidak lari dari realita dunia dengan dalih ibadah.
Seperti Rasulullah, beliau ahli ibadah, tetapi masih memiliki kesempatan untuk menikmati makanan, minuman, pakaian, dan hiburan. Beliau bahkan tidur dan beristirahat, menikah dan bercengkerama dengan keluarga.
Kita yang mengaku umat beliau, justru merasa susah mempraktikkan kesederhanaan dalam urusan dunia. Alam keseharian kita seolah tidak memberikan ruang untuk tidak terpukau kemilau harta.
Ironisnya, kita begitu mudah untuk mempraktikkan kesederhanaan dalam urusan ibadah. Jadilah kita begitu rajin mengumpulkan investasi dunia sembari mengabaikan tabungan akhirat.
Sekalinya kita mampu sederhana dalam urusan dunia, ternyata bukan sebuah pilihan, melainkan keterpaksaan akibat kehilangan daya saing untuk meraup harta. Begitu terlempang jalan di depan mata, berjuta cara segera kita tempuh agar dapat merengkuh harta tanpa mengindahkan perkara halal atau haram.
Disadari, memang tidak ada manusia di bumi yang sanggup meniru persis perilaku Rasulullah. Tetapi mengamalkan ajaran Rasulullah secara tebang pilih jelas bukan sebuah sikap bijak.
Tidak pantas kita berlaku sederhana dalam urusan ibadah, sementara loba dalam urusan dunia. Ketika kita berhasil berlaku sederhana dalam urusan ibadah, jangan-jangan itu bukan mengamalkan ajaran Rasulullah, melainkan wujud kemalasan kita dalam beribadah.