Wayang ini diciptakan orang pada adad ke-17, tetapi siapa penciptanya tidak diketahui. Seperti diketahui manusia Jawa menganggap wayangan sebagai upacara ritus komunikasi antara yang hidup dengan roh-roh leluhurnya yang di datangkan berupa perwujudan bayangan wayang. Mereka percaya bahwa kepercayaan Animisme yang berhubungan budaya Hindu ini menganggap bahwa permulaan adanya Negara dalam bentuk kerajaan di Jawa, sesuai apa yang tertera dalam cerita Ramayana dan Mahabharata, dilanjutkan ke masa Kediri Pejajaran sebagai jaman Madya dan berakhir dengan jatuhnya kerajaan Hindu Jawa Majapahit. Masing-masing jaman diwakili dengan bentuk wayang senddiri-sendiri. Jaman Purwa, Ramayana, Mahabharata diwakili wayang Purwa. Jaman Madya diwakili oleh Wayang Gedog Madya dengan cerita panji dan Jaman Wasana diwakili Wayang Wasana yang disebut wayang Klitik.
Beberapa sarjana menganggap bahwa cerita Panji dalam Wayang Madya pada hakekatnya melambangkan siklus peredaran planet antara matahari dan bulan, siang dan malam dalam bentuk percintaan antara raden Panji dengan istrinya Candrakirana yang tak ada hentinya berpisah saling mencari-cari.
Sedang cerita Damarwulan sebaliknya merupakan lambang pertentangan antara Bulan (Damarwulan) dan Matahari (Minakjingga). Lambang abadi pertentangan gelap dan terang, kejahatan dan kebenaran yang tentu saja akan berakhir dengan kemenangan kebenaran.
Bentuk Wayang Klitik
Jika Wayang Purwa dan Wayang gedog Madya berbentuk ukiran kulit secara keseluruhan hingga menimbulkan bayangan pada kelir, maka wayang klitik berupa ukiran papan kayu dengan tangan keduanya dari kulit. Nama Klitik ini tercipta karena suara yang ditimbulkan oleh gesekan antara wayang yang dibuat dari kayu tersebut. Pertunjukan wayang Klitik karenanya tidak memerlukan kelir untuk bayangan. Oleh karena itu sering pula disebut sebagai kelir kaca. Artinya pertunjukan tembus pandang antara penonton yang bertempat di depan maupun di belakang Dalang. Pemakaian kulit untuk kedua tangan wayang klitik ini menunjukkan adanya eksperimen baru dari bentuk wayang kulit ke wayang golek kayu. Seperti halnya dengan wayang Kulit purwa, wayang Klitik juga mengenal wanda atau bentuk wajah dan perawakan kepala untuk melukiskan watak temperamen tokoh yang didasarkan atas warna-warna yang khas misalnya untuk tokoh Menakjingga sebagai lambang Matahari yang panas dan pemarah digambarkan dalam pewarnaan Merah jingga dan Damarwulan sebagai lambang Bulan dan kesejukan dilukiskan dalam warna putih dengan wanda ruruh. Dalam wayang Klitik juga dikenal wanda rangkap dan bentuk wayang yang berbeda, misalnya untuk tokoh-tokoh pokok dikenal wanda rangkap.
Jumlah wayang Klitik untuk tokoh-tokoh pokoknya tidak lebih dari dua puluh buah, dengan tambahan sekitar 10 buah yang diambilkan dari tokoh-tokoh wayang Bratasena, Anoman, Gunungan, rampogan dan wayang ricikan jenis binatang gajah, kuda dan sebagainya.
Seperti halnya wayang purwa, wayang klitik juga mengenal cirri-ciri menurut gaya Yogya, gaya Surakarta dan gaya Mangkunegaran. Gaya Yogyakarta kurang anatomis, terutama pada pahatan kakinya, sehingga mengarah pada bentuk primitif seperti halnya pada tokoh wayang kulit Bima sehingga menimbulkan kesan bahwa gaya Yogya lebih tua umurnya daripada gaya Surakarta. Hal ini perlu penelitian lebih lanjut. Yang jelas, watak Yogya mengarah pada gagah dan bregas penuh kesederhanaan dan gaya Surakarta mengarah pada kehalusan serta ketenangan. Hal ini tentunya tidak lepas dari kemantapan kehidupan keraton Sala dibandingkan dinamisme Kraton Yogya pada masa pembentukan kerajaan dibawah pimpinan Pangeran Mangkubumi. Dari segi bentuk, Wayang Klitik gaya Surakarta masih mendekati bentuk wayang kulit sedang gaya Yogya justru mengarah pada bentuk wayang golek.
Perangkat pertunjukan.
Perangkat untuk mengiringi pertunjukan wayang klitik ini, memakai gamelan dengan laras slendro berjumlah lima macam, yakni : kendang, saron, ketuk, kenong, kempul (barang) dan gong suwukan.
Jumlah lagu/gending yang dipergunakan untuk mengiringi tidak banyak dan kurang variasinya sehingga sangat senada. Gamelannya boleh dikatakan sama dengna irama Jatilan atau kuda lumping. Apalagi bila terjadi adegan perang, sangat monoton dengan iringan gending srepegan. Pada setiap adegan yang dinamakan jejeran, Ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandanggula, Sinom, pangkur, Asmaradana dsb. Tembang ini berperan sebagai suluk dalam wayang kulit dengan penambahan candra wayang untuk setiap tokoh-tokoh wayang yang sedang dilakonkanya.
Sewaktu talu sebagai persiapan memasuki fase pagelaran wayang yang sesungguhnya dipakai gending Undur-undur.
Anggota rombongan pertunjukan wayang klitik terdiri dari lima sampai tujuh orang yakni seorang Dalang dengan niyaga yang biasanya merupakan keluarga Dalang. Yakni istri, saudara atau anak laki-lakinya, Tugas mengangkut gamelan dilakukan oleh orang lain yang merangkap pemukul gong sewaktu pertunjukan berlangsung.
Waktu-waktu pertunjukan
Pada masa lalu, pertunjukan wayang Klitik merupakan pertunjukan yang bersifat ritual sakral. Diadakan pada waktu-waktu tertentu pada setiap tahun, misalnya pada hari raya, pad waktu dilakukan bersih desa. Keduanya ditanggap oleh desa setempat dan biasanya bergiliran dari satu desa lainnya. Ditanggap secara pribadi pada pesta-pesta perkawinan dan upacara-upacara ritual lainnya yang menurut tradisi merupakan bagian upacara yang harus dilakukan. Pada hari-hari biasa merupakan pertunjukan barangan yang singkat di tempat-tempat umum seperti alun-alun, dijalanan dan di rumah-rumah penduduk yang hanya ingin menanggap untuk sekedar kesenangan. Sifatnya menjadi komersil profaan. Seringkali pula pertunjukan dilakukan ditempat-tempat yang ramai seperti di Pasar.
(Sidik Gondowarsito, Gatra, No. 9-1986 hal. 40-45).
Perangkat untuk mengiringi pertunjukan wayang klitik ini, memakai gamelan dengan laras slendro berjumlah lima macam, yakni : kendang, saron, ketuk, kenong, kempul (barang) dan gong suwukan.
Jumlah lagu/gending yang dipergunakan untuk mengiringi tidak banyak dan kurang variasinya sehingga sangat senada. Gamelannya boleh dikatakan sama dengna irama Jatilan atau kuda lumping. Apalagi bila terjadi adegan perang, sangat monoton dengan iringan gending srepegan. Pada setiap adegan yang dinamakan jejeran, Ki dalang mengiringinya dengan tembang macapat seperti Dandanggula, Sinom, pangkur, Asmaradana dsb. Tembang ini berperan sebagai suluk dalam wayang kulit dengan penambahan candra wayang untuk setiap tokoh-tokoh wayang yang sedang dilakonkanya.
Sewaktu talu sebagai persiapan memasuki fase pagelaran wayang yang sesungguhnya dipakai gending Undur-undur.
Anggota rombongan pertunjukan wayang klitik terdiri dari lima sampai tujuh orang yakni seorang Dalang dengan niyaga yang biasanya merupakan keluarga Dalang. Yakni istri, saudara atau anak laki-lakinya, Tugas mengangkut gamelan dilakukan oleh orang lain yang merangkap pemukul gong sewaktu pertunjukan berlangsung.
Waktu-waktu pertunjukan
Pada masa lalu, pertunjukan wayang Klitik merupakan pertunjukan yang bersifat ritual sakral. Diadakan pada waktu-waktu tertentu pada setiap tahun, misalnya pada hari raya, pad waktu dilakukan bersih desa. Keduanya ditanggap oleh desa setempat dan biasanya bergiliran dari satu desa lainnya. Ditanggap secara pribadi pada pesta-pesta perkawinan dan upacara-upacara ritual lainnya yang menurut tradisi merupakan bagian upacara yang harus dilakukan. Pada hari-hari biasa merupakan pertunjukan barangan yang singkat di tempat-tempat umum seperti alun-alun, dijalanan dan di rumah-rumah penduduk yang hanya ingin menanggap untuk sekedar kesenangan. Sifatnya menjadi komersil profaan. Seringkali pula pertunjukan dilakukan ditempat-tempat yang ramai seperti di Pasar.
(Sidik Gondowarsito, Gatra, No. 9-1986 hal. 40-45).
Di beberapa daerah wayang klithik disebut pula dengan iistilah wayang kerucil. Dinamakan wayang klithik karena dibuat dari kayu, sehingga apabila bersinggungan akan menimbulkan bunyi tertentu yang menurut telinga Jawa terdengar thik-thik. Disebut dengan wayang kerucil karena ukurannya yang kecil-kecil; lebih kecil disbanding dengan ukuran wayang kulit, baik purwa,gedhog maupun madya.
Boneka yang dibuat dari kayu ini, bentuknya mirip purwa, pipih. Semua tanggannya tetap dibuat dari kulit. Wayang klithik atau kerucil biasanya hidup dan berkembang di daerah pedalaman. Sesuai dengan kondisi masyarakt penyangga wayang klithik, peralatan dan wujud pergelarannya sangat sederhana (agal).
Pertujukan wayang klithik menyajikan cerita-cerita yang berkisar dengan kehidupan tokoh legendaries di jaman Majapahit, yaitu Damarwulan yang dapat membebaskan Majapahit dari ancaman Minakjingga (AdipatiBlambangan). Di beberap daerah di Jawa Timur (bajanegara, Nganjukdan Kediri), wayang klithik juga menggarap repertoar lakon dari siklus lain (Panji,Menak,Babad dan sebagainya); hal ini tergantung pada permintaan penyelenggara pergelaran. Berbeda dengan bentuk penggunaan wayang yang telah dibicarakan sebelumnya (pura, gedhog dan madya), wayang klithik tidak menggunakan layar atau kelir secara penuh. Artinya, arena penampilan wayang dibuat tak berkelir,Lucunya, sekalipun tidak menggunakan kelir yang penuh, pertunjukan wayang klithik juga sering disebut pakeliran wayang klithik. Agaknya pakeliran lebih diartikan sebagai bentuk pementasan wayang, wayang dalam segala jenis.
Sekalipun wayang klithik sekarang sudah jarang kita saksikan pementasannya, namun di beberapa daerah pedesaan pada kepentingan hajad tertentu masih menyelenggarakannya. Sehingga apabila kita ingin studi yang agak mendalam tidak atau belum “kelangan lacak”benar.