Beberapa prasasti yang ditemukan mengungkapkan bahwa, pertunjukan wayang kulit di Bali memiliki perjalanan hidup yang cukup panjang. Pada prasasti yang dikeluarkan oleh raja Ugrasena berangka tahun 818 Saka (896 Masehi), yang kini di simpan di Desa Bebetin (Singaraja), antara lain disebutkan : “….pandê tambaga, pamukul, pagending, pabunjing, papadaha, parbhangsi, partapukan, parbwayang, panekan, dihyang api, tikasana, metani kasiddhan dudukyan hu” (…pandai tembaga, penabuh gamelan, juru kidung/penyanyi, juru tabuh angklung bamboo, pemukul kendang, peniup suling, penari topeng, permainan wayang) Goris, 1954:55; Simpen AB., 1974: 3; Rota, 1977/78: 10) Prasasti di atas menyebutkan beberapa kelompok orang yang menggambarkan profesi tertentu, termasuk orang yang mempertunjukan wayang atau disebut dalang.
Prasasti Dawan (Kabupaten Klungkung) berangka tahun 975 Saka (1053 Masehi), menyebutkan sebagai berikut : “….yan hanâ agending ihaji maranmak ngkanâ ku 2 pawehanyâ, agending ambaran ku 1 amukul sa 3 pawehanyâ, ing satuhan aringgit atali tali banjuran wehanyâ ku 1 ri satuhun ……” (… jika ada juru gending/penyanyi yang bermain dihadapan raja diberikan upah 2 kupang, juru tahuh gamelan diberikan 3 kupang, perkumpulan wayang dan atali-tali? Diberikan 1 kupang) Aryasa, 1976/77: 16; Rota, ibid). Sedangkan Prasasti Blantih yang berangka tahun 980 Saka (1058 Masehi) juga menyebutkan tentang bentuk-bentuk kesenian, seperti: “…… mangkanâ yan hanâ abanwal, atapukan, aringgit, pirus, ménmén, I haji maranmak ku 2 pawehanyâ I riya anukul ku 3, agending ambaran maran-mak ku 2 pawehanyâ I riya ameling ku 1, amukul ku 2 pawehanyâ I riyâ ….” ( ….. demikianlah kalau ada perntunjukan lawak, topeng, wayang, badut/pemain drama yang bermain dihadapan raja, mereka diberi upah 2 kupang, juru kidung/penyanyi 2 kupang, juru suling 1 kupang, juru tabuh gamelan 2 kupang) Simpen AB, loc. Cit.,:Rota, Ibid.,:16)
Kitab Epigraphi Balica I, karya tulis P.V. van Stein Callenfels, koleksi Museum Bali no. 80/v, yang disalin dari turunan prasasti Gurun Pai dari Desa Pandak Bandung (Tabanan), dikeluarkan oleh raja Anak Wungsu tahun 1071 Masehi, berbunyi demikian: “ …..yan amukul (juru tabuh), anuling (seruling), atapukan (tapel, abanwal (pelawak), pirus (badut), menmen (tontonan), aringgit (wayang) (1948 : 5; Sejarah Bali, op. cit., 108).
Prasasti-prasasti tersebut di atas, hampir dapat dipastikan bahwa sekitar tahun 896 Masehi di Bali sudah ditemukan adanya pertunjukan wayang dengan kelompok yang sudah teratur dan keahlian mempertunjukkan wayang sudah merupakan suatu profesi tersendiri di antara berbagai profesi yang ada. Dari temuan tersebut tidak menutup kemungkinan bahwa sebelum tahun 896 Masehi pertunjukan wayang juga sudah ada di daerah ini, namun sayang bukti-bukti yang mendukung ke arah itu sampai sejauh ini penulis belum menemukannya.
Menurut Angela Hobart, wayang kulit Bali muncul pada masa pemerintah Majapahit (abad XIII sampai XV). Pada masa kerajaan Gelgel dengan rajanya Dalem Watu Renggong (1560-1550 Masehi), pernah mendapat hadiah satu gedog (kotak) wayang kulit dari raja Majapahit sekitar abad ke-XV Masehi, dimana bentuk-bentuk wayang itu tidak bedanya dengan bentuk wayang kulit Bali yang sekarang ini yaitu sama dengan bentuk relief wayang yang terdapat pada Pura Taman Sari (Kabupaten Klungkung), yang berasal kira-kira pada abad XVI/XVII Masehi. (Hobart, 1987 : 22) Kalau dugaan ini benar maka diperkirakan antara abad X sampai XIV wayang kulit beralih dari Jawa Ke Bali. Hal ini memungkinkan karena pengaruh Hindu Jawa di Bali sangat pesat dengan ditandai serangkaian penaklukan, ketika Bali ditaklukkan oleh Majapahit pada tahun 1343 Masehi sebagai manifestasi sumpah Gadjah Mada (Babad Smarapura, TT: 38B dan 39a). Setelah keruntuhan kerajaan Majapahit di Jawa Timur, para ilmuwan, pendeta, dan bangsawan melarikan diri ke Bali untuk mengungsi serta membawa pula naskah-naskah sastra klasik. Pada waktu antara dua masa tersebut wayang kulit; wayang orang (wayang wong); dan topeng dikenal di Bali (randon, apcit;: 52-53).
Orang Bali, secara mitologis menganggap pertunjukan wayang berasal dari dewa-dewa di sorga. Mitos asal-usulnya disebutkan terdapat dalam dua naskah lontar yaitu Siswa-gama, dan Tantu Pagelaran. Lontar Siwagama menyebutkan sebagai berikut:
“ ……sinasâ ring lemah, ryyarepaning salu-agung, ginawâken pangung Hyang Trisamayâ, kumenaken kelirning awayang Bhatara Iswara hudipan, rinaksâ dê Sang-hyang Brahma Wisnu, ginameling redep kecapi, rinorwan pamanjang mwang gulâ ganti, sinamening langon-langon, winahyaken lampah Bharata kalih, Sanghyang Kala Ludra lawan Bhatari Panca Durga, sira purwakaning hana ringgit ring Yawa Mandala, tinonton ing wwang akwêh. (Pus Dok Bali, 1988: 60-61; Hobart, ibid: 22)
Terjemahannya kurang lebih : “ ……. Di bumi tepatnya di depan rumah Balê Gedê, dibuatkan sebuah panggung atau arena Hyang Trisamaya, digelar pertunjukan wayang memakai kelir, Bharata Iswara bertindak sebagai dalang/pembicara, didampingi oleh Sanghyang Brahma dan Sanghyang Wisnu, diiringi gamelan gender dan kecapi, menyanyikan lagu gula-ganti, diikuti dengan gerak tari yang menawan, menceriterakan perjalanan kedua dewata, yaitu Sanghyang Kala Ludra/Bhatara Siwa dengan Bhatari Panca Durga/Dewi Uma, demikianlah awal mula adanya wayang (ringgit) di bumi Jawa, orang yang menonton cukup banyak).
Sedangkan dalam naskah Lontar Tantu Pagelaran, juga menyebutkab tentang asal mula pertunjukan wayang yang berasal dari dewa-dewa di sorga. Adapun isinya adalah sebagai berikut:
“…… Rep saksana Bhatara Iswara Brahma Wisnu umawara panadah Bhatara Kalarudra; tumurun maring madyapada hawayang sira, umucapaken tatwa bhatara mwang bhatari ring bhuwana. Mapanggung maklir sira, walulang inukir maka wayangnira, kinudangan panjang langon-langon. Bhatara Iswara sira hudi-pan, rinaksa sira de Hyang Brahma Wisnu. Mider sira ring bhawana masang gina hawayang, tineher habandagina hawayang; mangkana mula kacarita nguni ….” (Pus Dok Bali, 1987: 43; Pigeaud, 1924: 103 – 104; Hazeu, 1979: 43-44)
Kurang lebih berarti : “ Para dewata menjadi takut, Siwa yang berujud Kalarudra berkeinginan akan membinasakan segala isi dunia. Bhatara Iswara, Brahma dan Wisnu mengetahui hal itu, kemungdian turun ke bumi dn mengadakan pertunjukan wayang. Mereka menceriterakan siapa sesungguhnya Kalarudra dan Durga itu. Pertunjukan itu di adakak di atas panggung dengan kelir, sedangkan wa-yang-wayangnya dibuat dari kulit binatang yang diukir dan dipahat disertai nya-nyian yang menawan. Iswara bertindak sebagai dalang, didampingi oleh Bhrahma dan Wisnu. Mereka berkelana di bumi ini dengan bermain musik dan memainkan wayang. Dengan ini terciptalah suatu pertunjukan wayang kulit ….”
Dua naskah tersebut di atas cukup jelas menyebutkan adanya pertunjukan-pertunjukan wayang ada di Jawa (Yawa Mandala), namun secara implesit mendekati bentuk pertunjukan wayang kulit di Bali. Hal itu ditandai dengan digelarnya wayang kulit tenpat khusus (Bale Gede), dalang dibantu oleh dua orang kanan dan kiri disebut katengkong/tututan, serta menggunakan iringan/gamelan gender. Ketiga dewa (Bhatara Iswara, Brahma, dan Wisnu) sampai sekarang diyakini membantu seorang dalang mensukseskan pertunjukan wayang, hal ini jelas se-kali tercantum dalam Dharma Pewayangan.
Data tersebut di atas menandakan bahwa, keberadaan wayang di Bali sudah demikian tuanya dan seniman pembuatnya diberi kedudukan khusus dengan sebutan gelar yang istimewa dengan seniman yang lainnya.
Dari berbagai jenis seni pertunjukan yang ada dan berkembang di Bali, wayang kulit termasuk jenis pertunjukan yang ulameng-lungguh (kedudukan terhormat) dalam kehidupan kebudayaan masyarakat Bali (Rota, 1990: 5). Seorang budayawan asing, Covarrubias mengatakan bahwa, pertunjukan wayang kulit bukan hanya merupakan hiburan terpenting bagi masyarakat Bali, tetapi bahwa diperkirakan sebagai nenek moyang teater tradisional Bali, katanya: “… With is elaborate magic, religious significance, its undiminished popularity, and as the most impo-tant firm of Balinese entertainment” (1973: 243)
Wayang kulit Bali, secara bentuk (prototype) ternyata lebih tua umurnya dari wayang kulit purwa Jawa. Walaupun penyelidikan ilmiah belum menghasilkan jawaban kesimpulan di atas, akan tetapi Mangkunagoro VII dari Surakarta secara tegas menyatakan bahwa, gaya yang lebih naturalistic dari wayang kulit Bali harus diakui lebih unggul dalam usia, sehinggga seseorang menerima secara aksiomatis bahwa stilisasi senantiasa berkembang di luar bentuk naturalistis (Mangkunagoro VII, 1957:7; Claire Holt, 1967: 135). Prototipe tertua wayang kulit Bali dikuatkan dengan adanya bentuk relief yang menyerupai bentuk wayang kulit, terdapat pada relief candi di Jawa Timur seperti relief Candi Jago di Tumpang (Malang); Candi Surawana, dan Tegalwangi di dekat Pare (Kediri) atau pada Candi Panataran di Blitar. Semua bentuk-bentuk tokohnya mirip sekali dengan bentuk wayang kulit Bali yang belum sempat di Islamkan (Soedarso Sp., 1987: 5-6)
B. Klasifikasi Wayang Kulit Bali
Pengklasifikasian wayang kulit Bali didasarkan atas lakon atau cerita, fungsi dan bentuk dalam pertunjukan. Disamping itu instrument (gamelan) yang mengiringi-nya juga membedakan jenis wayang yang satu dengan yang lainnya seperti:
- Wayang Parwa, pertunjukan wayang kulit yang mengambil sastra/lakon Mahabharata (India) di Bali sering disebut asta parwa (18 parwa) dan kakawin Bharatayuddha (Jawa Kuna). Iringan/gamelannya terdiri dari 4 tungguh gender laras slendro (2 tungguh gender besar dan 2 tungguh gender kecil).
- Wayang Ramayana, mengambil sastra/lakon epik Ramayana yang dibagi menjadi 7 sargah bagian) sering disebut sapta kanda. Instrumentnya disebut gamelan batel yang terdiri dari 4 tungguh gender, 2 pasang kendang kecil, masing-masing 1 buah kajar, kelenang, kelenong, tawa-tawa, ricik, suling 2 buah, dan kempul (gong).
- Wayang Calonarang, Istilah Calonarang adalah nama seorang ratu janda yang tinggal di desa Girah(Dirah). Wanita itu di Bali dikenal dengan nama Ni Walu Nateng Dirah atau Ni Rangdeng Dirah yang berarti seorang ratu wanita janda yang tinggal di desa Dirah. Menurut seorang seniman dalang Calonarang yakni I Made mandera mengatakan bahwa kata Calonarang merupakan istilah nama “pengiwa” (ilmu hitam) dilaksanakan oleh Ni Walu Nateng Dirah. Sedang menurut Goris yang menjadi Calonarang adalah seoarng putrid yang bernama Gunapria dan putrid itu disebut Calonarang setelah ia dibuang oleh suaminya karena dituduh melakukan pekerjaan yang jahat yaitu melaksanakan ilmu desti (Goris dalam Senen, 1974 :5). Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut pengertian Calonarang adalah nama lain dari Ni Walu Nateng Dirah yang melaksanakan ilmu hitan yang sudah tinggi. Ni Walu Nateng Dirah ini mempunyai seorang anak cantik molek bernama ratna mangali. Tetapi tak seorang pun berani meminangnya, karena sang janda terkenal dengan perbuatan yang jahat. jenis wayang ini mengambil sastra/lakon dari lontar Calonarang, yang lebih banyak mengisahkan Walunateng Dirah, seorang janda yang mempraktekkan black magic (ilmu hitam) tinggal di Dirah (Girah), masuk wilayah kekuasaan Erlangga (Jawa Timur). Iringannya sama dengan wayang Ramayana. Dalam kurun waktu perjalanannya, wayang Kulit Calonarang telah mengalami modernisasi baik dalam penggunaan alat-alat maupun struktur pementasannya. Pertunjukan wayang Calonarang ini terkesan paling angker dan mengerikan. Walaupun demikian pertunjukan ini sangat digemari oleh masyarakat baik dewasa maupun anak-anak muda sekalipun., karena pertunjukan ini menampilkan tokoh sentral “Calonarang” yang memiliki ilmu hitam . Dan keberadaan ilmu hitam (black magig) dalam masyarakat sekarang masih merupakan bagian spiritual keagamaan yang disimbolkan dengan tokoh “Rangda”.
Pertunjukan Wayang Kulit Calonarang termasuk pertunjukan yang paling langka dewasa ini dibandingkan dengan pertunjukan wayang lain. Disamping terbatasnya dalang-dalang Calonarang yang masih aktif dalam pementasannya, juga animo masyarakat untuk menanggap juga semakin mengurang. Walaupun demikian pertunjukan ini tidak berarti punah melainkan masih fungsional. Disamping itu pula masyarakat tidak sembarangan berani menanggap pertunjukan ini kecuali untuk kepentingan umum, danm tempatnya pun terkadang di tempat yang umum dan angker pula seperti di dekat kuburan, di Pura di Balai banjar, di wantilan Desa dan lain-lain. Menurut Ida Bagus Sudiksa, pertunjukan Wayang calonarang ini selalu mengundang bahaya yaitu taruhan nyawa antara dalang dengan orang-orang yang disinyalir bisa “ngeleak”. Oleh karena itu jika dalang Calonarang meninggal dunia belum pada saatnya selalu dikaitkan dengan pertarungannya dengan musuh-musuhnya atau dikalahkan oleh orang-orang yang ilmunya lebih tinggi di bidang “pendestian
Wayang Kulit Calonarang selain merupakan jenis kesenian langka, banyak mengandung nilai-nilai kehidupan yang dilambangkan dengan “rwa bhineda” yaitu antara baik dan buruk yang selalu dialami oleh manusia.
- Wayang Cupak, wayang ini mengambil lakon/cerita rakyat (folklore) yang menceritakan dua orang kakak beradik (Cupak) dan watak rupawan (Grantang). Iringannya sama dengan wayang Ramayana.
- Wayang Gambuh, wayang ini mengambil lakon dari cerita Malat (siklus Panji). Bentuk wayangnya merupakan transisi antara bentuk wayang Bali dengan bentuk wayang kulit Jawa (wayang Madya). Fungsinya sebagai pelengkap upacara dewa yajnya dan manusa yajnya. Iringan seperti dramatari Gambuh yaitu : suling besar 3 atau 4 buah, 2 buah kendang kecil, masing-masing 1 buah kajar, klenang, klenong, kemanak, kangsi, gentorag, dan 1 buah kempul.
Kapan jenis wayang ini lahir dan berkembang di Bali, sulit diketahui karena sumber-sumber tertulis yang menyinggung hal itu hamper tidak diketemukan. Kalau ada anggapan bahwa wayang gambuh bersamaan lahir dengan dramatari gambuh, maka dapat dikirakan wayang gambuh lahir sekitar abad XV (Bandem dkk, 1974:7).
Sedang menurut I Ketut Rinda (Alm.) dalam penjelasannya mengatakan bahwa wayang gambuh yang ada di Bali berasal dari Blambangan (Jawa Timur). Pada jaman dahulu raja Mengwi berhasil menaklukkan raja Blambangan yang bernama Mas Sepuh dan Mas Sedah (dalem Tawang Ulun). Setelah ini ditaklukkan oleh raja Mengwi tahun 1634, wayang beserta dalangnya diboyong ke Bali, dan raja Mengwi kemudian bergelar I Gusti Agung Blambangan. Saat itu daerah Blahbatuh yang diperintah oleh I Gusti Ngurah Jelantik masih termasuk daerah kekuasaan raja Mengwi, sehingga raja Mengwi tidak keberatan memenuhi permohonan Ngurah Jelantik agar wayang beserta dalangnya yang bernama Arya Tega dikirim ke Blahbutuh bersama Mpu kekeran (pedanda Sakti Kekeran).
Demikian dapat dikatakan bahwa wayang Gambuh lahir dan berkembang di Blahbutuh dengan Arya Tega sebagai dalang yang pertama. Kini wayang Gambuh yang bersejarah masih sangat dikeramatkan di puri Blahbutuh. Selanjutnyawayang gambuh ini menyebar ke Sukawati dank e daerah Badung. Cokorde Gede Agung Sukawati dari Puri kaleran Sukawati meniru bentuk wayang Gambuh Blahbutuh itu yang kemudian wayang ini disimpan di Pura Penataran Agung Sukawati.
Seorang dalang I Ambul dari Sukawati mendapat pelajaran langsung dari I Gusti Tega (Arya Tega) yang asalnya dari Blambangan itu. Setelah dalang pertama Arya Tega meninggal, ia digantikan oleh putranya I Gusti kabor tahun 1905. Sebagai pengganti ayahnya, ia cukup terkenal mendalang wayang gambuh pada masa itu. Pada tahun 1908, kedudukan I kabor digantikan oleh putranya bernama I Gusti Nyoman Pering Tega menggantikan kedudukannya sebagai dalang wayang gambuh, karena I Gusti Putu Samprug meninggal dalam umur yang tidak begitu lanjut. Demikianlah sejak kira-kira tahun 1915 tidak ada lagi dalang wayang gambuh di Blahbutuh.
Sekitar tahun 1943, pada masa kedudukan bala tentara Jepang, I Ketut Rinda, berusaha menghidupkan kembali Wayang gambuh, namun tidak banyak membawa hasil. Tampaknya kaderisasi dalang wayang gambuh perlu ditumbuhkan lagi, maka I Ketut Rinda membina seniman dalang I Made Sidja dan I Wayan narta untuk mengikuti jejaknya menjadi dalang wayang Gambuh, Sejauh ini hanya dalang I Wayang Narta yang sesekali mementaskannya, dan itupun sangat jarang sekali.
- Wayang Arja, wayang ini adalah transformasi dramatari Arja kedalam bentuk wayang kulit dan lakonnya mengambil cerita Malat (Panji). Fungsinya sebagai hiburan saja dan jarang dipentaskan. Iringannya seperti dramatari Arja yang disebut gamelan geguntangan dengan seruling pemegang melodinya. Wayang Kulit Arja diciptakan oleh I Made Sidja. Berangkat dari respon kreatif dan dimotivasi oleh state (atas dorongan Listibiya Gianyar dan Propinsi Bali) I Made Sidja berimajinasi atas dasar keyakinan tiga hal yakni melestarikan, menggali dan mengembangkan seni budaya dengan mentransformasikan dramatari Arja ke dalam wayang Kulit seutuhnya, maka jadilah wayang hasil ciptaannya “ Arja Wayang” karena baik prototype wayang, iringan (gamelan geguntungan)), vocal (tembang/pupuh), antawacana, termasuk struktur dramatic mendekati sama dengan dramatari Arja. Namun demikian I Made Sidja menampilkan wayang arja selalu dimulai denagn tarian/tetikesan kayonan untuk kemudian melanjutkan pemahbah atau pengalang malat sebagai bentuk prolog. Pentas perdana wayang Arja dilakukan di Puri Agung Gianyar, dan berturut-turut di Taman Budaya “Art Center” Denpasar, di desa-desa seputar Gianyar .
- Wayang Tantri, wayang yang baru muncul belakangan (sekitar tahun 1978) yang diciptakan oleh seorang dalang yang kreatif dari Sukawati (Gianyar yaitu 1 Wayan Wija. Ceritanya mengambil dari kitab Tantri Kamandaka, kisah seorang raja Aeswaryadala yang berkeinginan kawin setiap hari, kemudian berkat bertemu dengan Ni Dyah Tantri (anak patih Bandeswarya) yang berkisah tentang binatang (mirip hikayat seribu satu malam), maka raja itu menjadi sadar dan menjadikan Dyah sebagai permaisurinya. Cerita Tantri bukan sekadar cerita binatang (sarua satwa), tetapi lebih merupakan cerita tentang kebijaksanaan (satua satwam). Bentuk wayang Tantri merupakan stilisasi antara wayang parwa dengan wayang gambuh yang fungsinya sebagai hiburan, terkadang untuk upacara dewa yajnya atau manusia yajnya. Iringannya memakai gamelan palegongan laras pelog.
- Wayang Sasak, wayang kulit yang popular di Sasak (Lombok Barat) dan juga masih disenangi di kabupaten Karangasem. Wayang ini mengambil lakon Menak (cerita Amir Hamzah).
- Wayang Kulit Cenk Blok, merupakan wayang ciptaan baru yang memadukan unsur-unsur estetis tiga varian seni pewayangan Bali, yaitu wayang Ramayana, Wayang Cupak dan Wayang Tantri. Gaya pakelirannya menggabungkan seni tradisi dengan seni kreasi yang dipengaruhi oleh teknologi modern. Musik pengiring yang digunakan tidak lagi menggunakan gender wayang, akan tetapi menggunakan balungan gender rambat yang dipadukan dengan gerong. Disamping itu digunakan adegan petangkilan berjalan, sedangkan pada wayang tradisi adegan petangkilan diam. Wayang ini diciptakan oleh I Wayan Nardayana.
- Wayang Babad, Wayang Kulit Babad ini diciptakan oleh dua orang creator sekaligus sebagai dalangnya. Kedua dalang adalah I Gusti Ngurah Seramasemadi, dari puri Saba, Blahbatuh (Gianyar) dan I Katut Klinik, dan I Ketut Klinik. Menurut I Gusti Ngurah Seramasemadi, muncul idenya membuat Wayang babad ketika ia mempersiapkan tugas akhir menempuh Sarjana di STSI Denpasar tahun 1988. Seramasemadi menggarap Wayang Kulit Babad banyak diilhami oleh beberapa bentuk kesenian Bali yang memakai lakon babad seperti, dramatari topeng; prembon, dramatari arja, sendratari dan drama gong. Cerita pertama yang diangkat adalah “Gugurnya Dalem Bungkut” seorang penguasa di Nusa Penida (daerah kekuasaan kerajaan Gelgel) yang gugur di medan pertempuran melawan I Gusti Ngurah Jelantik atas utusan Sri Aji Dalem Di Made.
Wayang Kulit babad karya Gung Rai ini diiringi gamelan batel dengan 4 buah suling yang berfungsi sebagai melodi (menengah dan kecil)
Dalam fungsinya mendukung ritual keagamaan, maka wayang kulit Bali dapat digolong-kan menjadi 2 macam yakni : 1) pertunjukan bebali, yakni untuk menyertai pelaksanaan upacara keagamaan, seperti upacara dewa, yajnya, pitra yajnya, manusia yajnya, dan buhta yajnya; dan 2) pertunjukan balih-balihan, yaitu pertunjukan hiburan yang menekankan nilai artistic dan didaktis. Sesuai dengan kesepakatan pada seminar seni sacral dan profan di Denpasar, menempatkan pertunjukan wayang atau seni pewayangan pada seni tari bebali (ceremonial dance), yaitu seni yang dipertunjukan dalam fungsinya sebagai pengiring upacara dan upakara di pura atau di luar pura (Proyek Pemeliharaan dan Pengembangan Kebudayaan Balai, 1971: 2). Namun kalau diteliti lebih cermat dalam kenyataan di lapangan tidaklah semua pertunjukan wayang berfungsi sebagai pengiring upacara. Wayang Sapua-leger (Jawa Murwakala) dalam prateknya ternyata tidak sebagai pengiring upacara, akan tetapi merupakan begian dari upacara itu sendiri. Sebagai bagian (keharusan) dari keseluruhan upacara, wayang Sapuh-leger termasuk seni wali (sacred religious) yaitu berfungsi sebagai pelaksana dalam hubungannya dengan upacara agama.
Atas dasar kenyataan tersebut, pertunjukan wayang kulit di Bali dapat digolongkan menjadi 3 macam yakni :
- wayang wali, yaitu wayang yang berfungsi sebagai bagaian dari keseluruhan upacara yang dilaksanakan, termasu golongan wayang ini ialah wayang Sapuh-leger
- Wayang bebalai, pertunjukan wayang sebagai pengiring upacara di pura atau dalam rangkaian upacara panca yajnya, termasuk golongan ini ialah wayang lemah dan wayang Sudamala
- Wayang balih-balihan, pertunjukan wayang untuk tontonan umum yang fungsinya diluar wali dan bebali dengan menitik beratkan fungsi seni dan hiburannya.
Adanya daya kreatifitas dari para seniman Bali yang mampu mengembangkan dan menciptakan berbagai hasil karya seni yang baru, menyebabkan tumbuhnya berbagai bentuk dan jenis kesenian khususnya wayang. Walaupun ada beberapa seniman konservatif yang memandang bahwa pertunjukan wayang kulit sudah sempurna, tidak perlu dikembangkan lagi dan cukup dilestarikan saja, akan tetapi naluri kreatif yang tumbuh pada sebagaian seniman masing terus berkembang dengan menyajikan karya-karya inovasi.
Masa Depan Wayang Kulit Bali
Melihat fungsi dan maknanya yang sangat penting dalam kehidupan sosial religius masyarakat Bali, kini wayang kulit hidupnya sangat subur di pulau Bali. Pada saat ini tercatat adanya 240 orang dalang (sekaa/group wayang kulit) yang memiliki potensi kuat untuk dilestarikan dan dikembangkan. Distribusi penye-barannya meliputi seluruh daerah di Bali seperti: Kabupaten Jembangan. (Negara) memiliki 7 sekaa seni pedalangan, Kabupaten Tabanan sebanyak 35 kelompok; Kabupaten Klungkung (Semarapura) 26 kelompok; Kabupaten Bangli 17 kelompok; Kebupaten Buleleng (Singaraja) 31 kelompok, Kabupaten Karangasem (Amlapura) 8 kelompok. Di antara jumlah sekaa/kelompok tersebut di atas yang masih aktif ini, terdapat beberapa dalang muda hasil pemenang festival Wayang Kulit yang diadakan Pemda Tk I Bali setiap tahun sejak 1971 (Suyatna dkk., 1992: 122).