Wayang Sandosa adalah bentuk pakeliran garapan baru, yang menggunakan layar lebar, dengan dalang lebih dari satu orang, dan menggunakan Bahasa Indonesia sebagai pengantar dan juga dialognya. Dalang pada pertunjukan Wayang Sandosa sekitar delapan orang, tetapi pernah pula sampai sepuluh orang. Semua dalang tidak bersila diam di tempat, melainkan berdiri, dan jika perlu bergerak atau berpindah tempat.
Pertunjukan Wayang Sandosa amat mengutamakan efek bayangan, dengan memanfaatkan permainan lampu warna-warni. Dalang hanya menggerakkan peraga wayang untuk tokoh tertentu saja. Sedangkan suluknya, dilakukan oleh dalang khusus. Iringan karawitan dengan garapan gending baru dan susunan baru, tanpa menggunakan dodogan dan keprakan.
Pertunjukan Wayang Sandosa memerlukan persiapan yang matang. Antara lain harus tersedia naskah Pakeliran Padat berbahasa Indonesia. Selain itu harus ada penggarap iringan karawitan, dan juga diperlukan beberapa dalang yang matang dalam teknis pakeliran. Diperlukan juga narator yang melakukan narasi, dan yang telah akrab dengan hal-hal teknis, dan menguasai teori dramaturgi. Selanjutnya diperlukan kekompakan serta kesatuan tindakan dari unsur-unsur itu sehingga merupakan satu kesatuan yang utuh dan bulat.
Sejak tahun 1982 sampai sekarang (1998) terdapat enam naskah pakeliran Wayang Sandosa, yakni: Karna Tanding, susunan Mudjiono dan Sulijanto (1982); Dewaruci, susunan Sumanto (1983);Ciptoning susunan Sumanto (1983); Wirata Parwa, susunan Trisno Santosa dan I Nyoman Murtana (1990);Sukeksi susunan Sumanto (1993); Puntadewa Wisuda, susunan Sumanto (1993).
Langkanya naskah Wayang Sandosa karena kesulitan dalam menggunakan medium bahasa Indonesia sebagai medium ungkap dalam pedalangan.