Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta

Wayang Kulit Purwa Gaya Yogyakarta

Pada masa Kraton Kasunanan Surakarta diperintah Sri Susuhunan Paku Buwana II tahun 1755, berdirilah Kasultanan Yogyakarta sebagai pecahan  dari Kraton Kasunanan Surakarta dengan Raja Sri Sultan Hamengku Buwono I (Hasil Perjanjian Giyanti 1755). Sejak saat itulah lahir wayang gagrak Yogyakarta. Dengan berdirinya pemerintahan dan tata wilayah baru tersebut  dirasakan perlunya suatu bentuk seni budaya baru dan nilai-nilai tersendiri sebagai identitasnya. Maka dibuatlah wayang gagrak Yogyakarta yang mengacu pada gagrak Kedu, yang didalam perkembangannya kemudian disertai percepatan (akselarasi) yang cukup berarti, sehingga kira-kira akhir abad ke 19 bentuk wayang gagrak Yogyakarta ini sudah seimbang dengan bentuk wayang gagrak surakarta.

Perbedaan wayang Gaya Yogyakarta dengan daerah lain

Yang membedakan wayang gaya Yogyakarta dengan gaya lain khususnya dengan gaya Surakarta antara lain adalah :

  1. Untuk Gaya Yogyakarta, postur tubuhnya lebih gemuk, gaya Surakarta lebih ramping.
2. Wayang Yogyakarta menunjukkan dalam posisi bergerak, hal ini terlihat dalam posisi telapak kakinya yang belakang agak berjinjit, seolah-olah akan berjalan gaya Surakarta statis.

Tradisi Pewayangan gaya Yogyakarta paling tidak secara nyata dalam bentuk serta diwadahi dalam lembaga semi formal adalah pada tahun 1925 ditandai dengan adanya lembaga kursus rencana calon dalang yang terkenal dengan sebutan Habiranda di bawah panji kraton Yogyakarta. Walaupun diketahui secara umum sebelumnya juga telah ada pewayangan di luar kraton yang sering dikenal dengan tradisi pewayangan gayapedesaan. Artinya gaya pewayangan yang telah lama diwarisi oleh para dalang yang semakin jauh jaraknya dari kraton, maka bentuk gaya pewayangannya pun akan menunjukkan variasi tersendiri. Pengakuan keberadaan yayasan Habiranda hingga sampai saat ini dari masyarakat dalang maupun pemerhati tetap menganggapnya sebagai institusi yang mapan dan manjadi acuan budaya wayang di wilayah Yogyakarta.

Sebagai langkah pembinaan para dalang di wilayah Yogyakarta, pihak kraton sejak tahun 1955 mengeluarkan kebijakan, dengan mengijinkan diselenggarakannya pementasan rutin di Kagungan Dalem Gedung Sasana Hinggil Dwi Abad. Pihak lain pun tertarik untuk mendukung prakarsa ini, yaitu Harian Umum Kedaulatan Rakyat bersama-sama RRI Nusantara II Yogyakarta.

Share this:

Related Posts
Disqus Comments