Setelah dibaiat para sahabat Muhajirin dan Anshar, Abu Bakar Ash-Shiddiq naik mimbar dan menyampaikan pidoto politik. "Wahai para sahabat, aku diangkat menjadi khalifah, padahal aku bukanlah yang terbaik di antara kalian,'' ujarnya.
Jika aku berlaku benar, kata Abu Bakar, dukunglah aku. Jika aku menyeleweng, luruskanlah aku. Kejujuran itu adalah amanah, sedangkan kebohongan adalah khianat.
''Orang yang kuat di antara kalian itu menurutku lemah, sebelum aku mengambil haknya bagi yang lemah. Sebaliknya, orang yang lemah itu menurutku kuat, sebelum aku memberikan hak dari yang kuat kepada yang lemah,'' ujar Abu Bakar.
Ia melanjutkan, ''Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, maka jangan taati aku. Laksanakanlah shalat, niscaya Allah akan merahmati kalian."
Pidato politik tersebut mencerminkan etika berpolitik yang sangat santun, rendah hati, dan terbuka. Sifat rendah hati tawadlu' sangat diperlukan dalam berpolitik dan memimpin umat.
Pemimpin yang rendah hati pasti akan membuka diri untuk mau dikoreksi dan dikritisi. Sebaliknya, pemimpin yang sombong dan arogan akan memicingkan mata terhadap pendapat dan kebenaran dari orang lain.
Pemimpin yang rendah hati akan senantiasa mengemban tanggung jawab kepemimpinannya dengan amanah, jujur, dan menomorsatukan rakyat, bukan partainya.
Kejujuran, menurut Abu Bakar, adalah pangkal tegaknya amanah kepemimpinan politik, sedangkan kebohongan adalah pangkal terjadinya pengkhianatan, penyalahgunaan jabatan, dan ketidak-percayaan rakyat.
Membangun kejujuran dan membasmi kebohongan merupakan tugas utama pemimpin yang memiliki etika politik yang religius seperti Abu Bakar. Amanah kepemimpin adalah juga amanah dari Allah dan Rasul.
Jadi, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu menaati syariat (ajaran, petunjuk, jalan kebenaran) Allah dan Rasul. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas (amanah) kepemimpinannya." (HR. Muslim).
Pemimpin yang amanah tidak akan pernah menyalahi janjinya kepada rakyat. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu memperhatikan dan melayani kepentingan rakyat, bukan mengurusi dan melayani kepentingan partainya.
Ia tidak memihak kepada yang kuat dan kaya, tetapi berusaha adil dan bijaksana dalam mengakomodasi dan mengadvokasi hak-hak mereka, terutama yang lemah dan miskin.
Pemimpin yang amanah menyadari doa kaum lemah dan miskin itu mustajab, sehingga jika kebijakannya menyengsarakan rakyat, sang pemimpin tidak didukung dan didoakan kekuasaannya segera runtuh.
Pemimpin yang jujur selalu mengajak kepada kebaikan, seperti shalat dan selalu berani memberantas kemungkaran seperti korupsi.
Ini berarti, sebelum menginstruksikan kepada orang lain, dirinya berikut keluarga dan koleganya sendiri harus mampu menjadi teladan yang baik uswah hasanah.
Sejarah membuktikan, Abu Bakar adalah pelopor penegak keadilan sosial ekonomi dengan menumpas kelompok yang anti membayar zakat yang dimotori Musailamah al-Kazdzdab.
Abu Bakar benar-benar membuktikan janjinya: “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.”
Santun, rendah hati, jujur, amanah, terbuka, peduli terhadap nasib rakyat yang dipimpin, dan berani menegakkan keadilan, itulah etika berpolitik yang seharusnya dimiliki para pemimpin politik kita, agar bangsa ini terurus dengan baik, tidak semakin "amburadul" dan rakyatnya semakin menderita.
Etika politik yang religius menuntut pemimpin 'mewakafkan' dirinya untuk menjadi pelayan rakyat sejati, bukan 'berselingkuh' dengan partai yang mengusungnya, sehingga kinerjanya menjadi tidak fokus dan energinya tersita untuk kepentingan partai.
Allah berfirman: ”Setiap golongan/partai (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS.al-Mu’minun [23]: 53)
Karena itu, tidak sedikit pemimpin yang lebih menomorsatukan loyalitasnya terhadap partai, daripada kepada rakyat yang memilihnya sebagai pemimpin. Sudah saatnya, pemimpin negeri ini hanya mempunyai monoloyalitas, yaitu: rakyat, bukan partai. Wallahu a'lam bish-shawab!
''Orang yang kuat di antara kalian itu menurutku lemah, sebelum aku mengambil haknya bagi yang lemah. Sebaliknya, orang yang lemah itu menurutku kuat, sebelum aku memberikan hak dari yang kuat kepada yang lemah,'' ujar Abu Bakar.
Ia melanjutkan, ''Taatilah aku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Jika aku tidak menaati Allah dan Rasul-Nya, maka jangan taati aku. Laksanakanlah shalat, niscaya Allah akan merahmati kalian."
Pidato politik tersebut mencerminkan etika berpolitik yang sangat santun, rendah hati, dan terbuka. Sifat rendah hati tawadlu' sangat diperlukan dalam berpolitik dan memimpin umat.
Pemimpin yang rendah hati pasti akan membuka diri untuk mau dikoreksi dan dikritisi. Sebaliknya, pemimpin yang sombong dan arogan akan memicingkan mata terhadap pendapat dan kebenaran dari orang lain.
Pemimpin yang rendah hati akan senantiasa mengemban tanggung jawab kepemimpinannya dengan amanah, jujur, dan menomorsatukan rakyat, bukan partainya.
Kejujuran, menurut Abu Bakar, adalah pangkal tegaknya amanah kepemimpinan politik, sedangkan kebohongan adalah pangkal terjadinya pengkhianatan, penyalahgunaan jabatan, dan ketidak-percayaan rakyat.
Membangun kejujuran dan membasmi kebohongan merupakan tugas utama pemimpin yang memiliki etika politik yang religius seperti Abu Bakar. Amanah kepemimpin adalah juga amanah dari Allah dan Rasul.
Jadi, pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu menaati syariat (ajaran, petunjuk, jalan kebenaran) Allah dan Rasul. Setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap pemimpin itu akan dimintai pertanggungjawaban atas (amanah) kepemimpinannya." (HR. Muslim).
Pemimpin yang amanah tidak akan pernah menyalahi janjinya kepada rakyat. Pemimpin yang amanah adalah pemimpin yang selalu memperhatikan dan melayani kepentingan rakyat, bukan mengurusi dan melayani kepentingan partainya.
Ia tidak memihak kepada yang kuat dan kaya, tetapi berusaha adil dan bijaksana dalam mengakomodasi dan mengadvokasi hak-hak mereka, terutama yang lemah dan miskin.
Pemimpin yang amanah menyadari doa kaum lemah dan miskin itu mustajab, sehingga jika kebijakannya menyengsarakan rakyat, sang pemimpin tidak didukung dan didoakan kekuasaannya segera runtuh.
Pemimpin yang jujur selalu mengajak kepada kebaikan, seperti shalat dan selalu berani memberantas kemungkaran seperti korupsi.
Ini berarti, sebelum menginstruksikan kepada orang lain, dirinya berikut keluarga dan koleganya sendiri harus mampu menjadi teladan yang baik uswah hasanah.
Sejarah membuktikan, Abu Bakar adalah pelopor penegak keadilan sosial ekonomi dengan menumpas kelompok yang anti membayar zakat yang dimotori Musailamah al-Kazdzdab.
Abu Bakar benar-benar membuktikan janjinya: “Aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat.”
Santun, rendah hati, jujur, amanah, terbuka, peduli terhadap nasib rakyat yang dipimpin, dan berani menegakkan keadilan, itulah etika berpolitik yang seharusnya dimiliki para pemimpin politik kita, agar bangsa ini terurus dengan baik, tidak semakin "amburadul" dan rakyatnya semakin menderita.
Etika politik yang religius menuntut pemimpin 'mewakafkan' dirinya untuk menjadi pelayan rakyat sejati, bukan 'berselingkuh' dengan partai yang mengusungnya, sehingga kinerjanya menjadi tidak fokus dan energinya tersita untuk kepentingan partai.
Allah berfirman: ”Setiap golongan/partai (merasa) bangga dengan apa yang ada pada mereka (masing-masing).” (QS.al-Mu’minun [23]: 53)
Karena itu, tidak sedikit pemimpin yang lebih menomorsatukan loyalitasnya terhadap partai, daripada kepada rakyat yang memilihnya sebagai pemimpin. Sudah saatnya, pemimpin negeri ini hanya mempunyai monoloyalitas, yaitu: rakyat, bukan partai. Wallahu a'lam bish-shawab!
Oleh : Muhbib Abdul Wahab