Kesenian Jemblung menurut gotek berawal dari salah satu tradisi orang Banyumas pada saat sepasaran bayi (selamatan yang dilakukan pada saat bayi berumur lima hari) mengadakan suatu acara yang disebut macanan atau macapatan yang kemudian biasa disebut muyen (berasal dari istilah kata nemu bayi). Acara ini berupa pembacaan tembang-tembang macapat oleh beberapa orang yang bertujuan untuk membuat suasana tempat hajatan menjadi hangat. Di samping itu kemudian masyarakat menggunakan momen ini sebagai ungkapan rasa syukur dan berdoa agar bayi yang baru lahir tumbuh menjadi anak yang berbudi pekerti luhur, berguna bagi bangsa, negara, dan agama (mampu menjadi kalifatullah paneteg panatanagara dan kalifatullah paneteg panatagama).
Tembang-tembang macapat yang disajikan umumnya berupa serat-serat babad dan cerita legenda, seperti Cerita Menak, Serat Ambya, Babad Banyumas, Babad pasirluhur, Babad Tanah Jawi dan sejenisnya.Acara ini dilaksanakan pada malam sepasaran bayi mulai selepas Isya’ dan berakhir menjelang Subuh (Suparman, wawancara 12 Maret 1999). Sejak kapan tradisi ini muncul tidak diketahui secara pasti, tetapi tradisi ini muncul karena pengaruh kehidupan sosial masyarakat Banyumas sejak daari nenek moyangnya yaitu rangkaian hidup tolong-menolong sesama warga terutama mengenai adat kelahiran yang berupa jagong bayen.
Dalam perkembangannya, muyen hadir bukan saja dalam bentuk sajian tembang-tembang macapat, melainkan juga adanya sisipan paparan cerita serta dialog antara pelaku atau tokoh di dalam cerita yang disajikan. Bentuk sajian yang demikian selanjutnmya disebut menthiet adalah jarwa dhosok daari istilah tekane samun, baline menthiet, yang artinya dating sendiri tanpa membawa apa-apa, sedangkan pulangnya penuh dengan barang bawaan yang berupa makanan. Kesempatan pementasan munthiet berarti pula kesempatan untuk makan kenyang dan membawa pulang oleh-oleh yang banyak bagi para pelakunya. Hal tersebut berkaitan dengan kondisi kehidupan masyarakat pada masa pertumbuhan ini, dimana rata-rata mereka dalam kondisi yang serba kekurangan. Kondisi tersebut selaras dengan kenyataan yang dialami oleh para seniman munthiet (Suparman, wawancara 12 Maret 1999).
Penyajian munthiet tidak dilakukan oleh beberapa orang sebagaimana penyajian macapatan atau muyen. Munthiet dilakukan hanya oleh satu orang pelaku yang menyuguhkan sajian tembang-tembang macapatan yang disisipi paparan cerita dan dialog antar pelaku dalam cerita. Adapun cerita yang disuguhkan masih berkisar cerita babad sebagaimana sajian muyen. Selain itu munthiet tidak terbatas disajikan pada aara sepasaran bayi saja, melainkan juga untuk keperluan acara lain seperti pernikahan, khitanan, syukuran, kaul dan lain-lain.
Pelaku munthiet memulai sajian dengan tembang macapat Dhandhanggula yang dilanjutkan tebang-tembang macapat yang lain eperti Sinom, Pocung, Gambuh dan lainnya. Kemudian diantara tembang-tembang itu, seperti halnya seorang dalang wayang kulit purwa, ia melakukan janturan, pocapan, dialog dan lain-lain terhadap tokoh-tokoh dalam cerita serta berperan sebagai tokoh yang ada dalam alur cerita yang disajikan. Cara pementasan munthiet ini bisa dengan apa saja seperti duduk bersila, jegang, jongkok, bahkan sambil tiduran. Sedangkan pementasannya tidak memilih tempat, mereka bisa pentas di ruang tamu diantara tamu undangan, teras, halaman, atau tempat lain yang memungkinkan dapat disaksikan oleh penonton. Pelaku munthiet menggunakan apa saja sebagai property pementasannya, termasuk sajen dan makanan suguhan. Properti itu dapat diimajinasikan sebagai boneka wayang atau bahkan dalam satu adegan tertentu, ia benar-benar memakan makanan yang ada dihadapannya.
Dalam perkembangannya, munthiet mengarah pada bentuk seni pertunjukan yang lebih lengkap. Pelaku munthiet yang hanya satu orang, selanjutnya berkembang menjadi empat orang. Di dalamnya ada yang berperan sebagai dalang, niyaga (pengiring), waranggana dan masing-masing juga berperan sebagai tokoh-tokoh yang ada di dalam alur cerita. Istilah munthiet pada pertunjukan ini berangsur-angsur hilang dan lebih dikenal dengan istilah Jemblung. Istilah munthiet lebih melekat pada pertunjukan yang dilakukan oleh satu orang. Peralihan dari bentuk munthiet ke Jemblung tersebut bukan berarti munthiet lalu hilang begitu saja, sebab sampai sekitar tahun 1980 menurut Suparman masih ada orang yang mementaskan pertunjukan munthiet. Pertunjukan munthiet mulai hilang dalam pementasan sekitar tahun 1985-an (wawancara, 12 Maret 1999).
Perkembangan daari munthiet ke Jemblung tersebut merupakan awal mula munculnya kesenian Jemblung. Menurut Sarkim, Jemblung berasal dari istilah jenjem-jenjeme wong gwmblung yang mengandung maksud bahwa walaupun dalam pertunjukannya berlaku seperti orang gila tetapi dalam ceritanya mengajarkan pesan-pesan yang baik kepada masyarakat (wawancara 1WAYANG JEMBLUNG
5 April 1999). Ada pula sumber lain yang meyebutkan bahwa kata Jemblung berasal dari sumber cerita yang disajikan, yaitu cerita Menak. Di dalam cerita tersebut terdapat tokoh bernama Jemblung Umarmadi (salah satu keluarga Wong Agung Menak jayengrana) yang memiliki ciri khas berperur buncit. Diperkirakan kata Jemblung berasal dari nama tokoh5 April 1999). Ada pula sumber lain yang meyebutkan bahwa kata Jemblung berasal dari sumber cerita yang disajikan, yaitu cerita Menak. Di dalam cerita tersebut terdapat tokoh bernama Jemblung Umarmadi (salah satu keluarga Wong Agung Menak jayengrana) yang memiliki ciri khas berperur buncit. Diperkirakan kata Jemblung berasal dari nama tokoh berperut buncit tersebut (Yusmanto, 1998:2).
Ada beberapa sumber yang menyatakan tentang awal kemunculan kesenian Jemblung di Sumpiuh. Menurut keterangan Sarkin, seorang dalang Jemblung dari Kecamatan Sumpiuh, bahwa keberadaan kesenian Jemblung diduga sudah ada sejak jaman berkuasanya Adipati Purbalingga bernama Kertabangsa dan Adipati Sokaraja bernama Darmakusuma. Menurut gotek yang diceritakan oleh Sarkim, secara garis besar ceritanya adalah sebagai berikut:
Di Kadipaten Purbalingga, Adipati Kertabangsa baru saja menerima sebilah keris pemberian Gandatapa, seorang pertapa dari Kendhanggempulung yang merupakan gurunya. Keris tersebut bernama Kyai Setan Kober. Oleh Sang Adipati, keris tersebut kemudian diberikan kepada putranya yang bernama Raden Kaligenting. Setelah menerima pusaka pemberian ayahnya tersebut, sifat Raden Kaligenting menjadi angkuh dan sombong. Suatu hari Kaligenting menerima berita bahwa sebenarnya keris Kyai Setan Kober mempunyai pasangan pusaka yang bernama keris Nagarunting. Maka Kaligenting berniat mencari pusaka Nagarunting tersebut. Setelah ditanyakan kepada ayahnya tetapi tidak mengetahui secara pasti. Akhirnya Kaligenting pergi mencari Nagarunting ke tempat Gandatapa di Kendhanggempulung. Setelah sampai di Kendhanggempulung, Kaligenting diberitahu oleh Gandatapa bahwa Nagarunting sudah diberikan kepada Adipati Darmakusuma di Sokaraja. Mengetahui Nagarunting sudah diberikan kepada orang lain, Kaligenting marah besar dan membakar temapt tersebut. Akhirnya Kaligenting pergi ke Sokaraja untuk mencari Nagarunting (wawancara 15 April 1999)
Di Sokaraja, Adipati Darmakusuma menerima kedatangan Kaligenting yang bertujuan meminta keris Nagarunting. Karena Darmakusuma tidak memberikan keris Nagarunting kepada Kaligenting, maka terjadilah peperangan. Dalam peperangan tersebut Kaligenting kalah oleh Darmakusuma yang memakai Keris Nagarunting, dan akhirnya lari menceburkan diri ke dalam sungai. Menduga bahwa Kaligenting masih hidup, Adipati Darmakusuma lalu bertapa di tepi sungai tersebut untuk menunggu kemunculan Kaligenting (wawancara 15 April 1999).
Di kadipaten Sokaraja, istri dari Adipati Darmakusuma melahirkan seorang bayi laki-laki yang kemudian diberi nama Raden Jaka Kuncung. Setelah beranjak dewasa, Jaka Kuncung pergi mencari ayahnya yang sedang bertapa di tepi sebuah sungai. Jaka Kuncung akhirnya berhasil menemukan ayahnya yaitu Adipati Darmakusuma. Jaka Kuncung akan diaku anak oleh Adipati Darmakusuma apabila Jaka Kuncung mampu membunuh musuh Adipati darmakusuma yang bernama Raden Kaligenting. Dengan berbekal keris Nagarunting pemberian Sang Adipati, akhirnya Jaka Kuncung menyanggupi persyaratan tersebut dengan mencari Kaligenting di dalam sungai. Di dalam sungai Jaka Kuncung bertemu seekor belut raksasa yang bernama Sidhat Wulung Sungut Kencana. Diantara keduanya akhirnya terjadi peperangan yang kemudian dimenangkan oleh Jaka Kuncung. Belut yang mati terkena Nagarunting tersebut berubah menjadi sebuah pusaka tombak tanpa sarung yang kemudian dinamakan tombak Kyai Plered. Jaka Kuncung mendengar suara yang tanpa rupa bahwa sarung dari tombak tersebut adalah orang yang sedang dicari Jaka Kuncung yaitu Kaligenting. Adapun cirri-ciri dari Kaligenting adalah orang yang bila dipuji senangnya bukan main, tetaapi bila dicela akan marah besar. Jaka Kuncung kemudian keluar dari sungai tersebut. Jaka Kuncung kemudian menyamar menjadi seorang dalang Jemblung dengan belajar pada seorang Dalang yang sudah tua disuatu wilayah di Kademangan Watukumpul bernama Dalang Sapanyana. Setelah sekian waktu akhirnya Jaka Kuncung berhasil menjadi seorang dalang Jemblung (wawancara 15 April 1999).
Di lain kisah, Kaligenting yang sudah keluar lebih dulu dari sungai suatu waktu akan menikahi anak Demang Watukumpul dan minta dipentaskan seorang dalang Jemblung, yaitu Jaka Kuncung. Pada saat pementasan, Jaka Kuncung mengambil cerita mengenari Kadipaaten Purbalingga, yang di dalamnya menyagkut kehidupan Raden Kaligenting. Jika dalam cerita Jaka Kuncung memuji kehebatan Kaligenting, maka Kaligenting akan tertawa trbahak-bahak, tetapi bila Jaka Kuncung mencela perbuatan Kaligenting, maka Kaligenting akan marah besar.