Qarun adalah manusia kaya raya yang hidup di zaman Nabi Musa AS. Di dalam Al Qur'an dijelaskan kekayaannya sangat melimpah. Bahkan, untuk kunci-kuncinya saja harus dipikul sejumlah orang dengan badan yang besar dan kuat. (QS. al-Qashash [28]: 76).
Tapi sayang, Qarun berbuat aniaya, ia angkuh dan sombong. Hatinya beku dan akalnya keras, sehingga ia tidak bisa menerima nasehat kebenaran.
Ketika diperingatkan agar tidak angkuh dan sombong dengan harta yang dimilikinya, ia malah berpaling sembari berkata, “Sesungguhnya aku hanya diberi harta itu karena ilmu yang ada padaku” (QS. al-Qashash [28]: 78).
Menurut Ibnu Katsir, ucapan Qarun itu menunjukkan dirinya tidak butuh dengan nasehat kebenaran. Bahkan ia tidak merasa butuh dengan apapun, termasuk ampunan dan ancaman Allah SWT. Ia merasa dirinya hebat dan harta yang dimilikinya murni karena kepintarannya.
Sikap Qarun yang tidak bisa menghargai orang lain dan selalu menganggap dirinya lebih baik dan lebih terhormat hanya semata-mata karena harta yang dimiliki adalah sikap orang yang kurang akal. Sikap demikian biasanya umum terjadi pada mereka yang dititipi harta kekayaan.
Syekh Ibnu Atha’illah dalam kitabnya, Taj al-‘Aruus al-Hawi li Tahdzib al-Nufus menjelaskan, “Hal pertama yang semestinya engkau tangisi adalah akalmu. Sebagaimana kekeringan bisa terjadi pada rumput, akal juga bisa mengering.''
Ia menambahkan, ''Berkat akal, manusia dapat hidup berdampingan bersama manusia lain dan bersama Allah. Bersama manusia dengan akhlak yang baik dan bersama Allah dengan mengikuti apa yang diridhai-Nya.”
Jadi, kriteria orang berakal atau tidak, sama sekali bukan pada berapa kekayaan yang dimiliki, tapi pada bagaimana akhlak yang dimiliki, baik akhlak kepada sesama manusia maupun akhlak kepada Allah SWT.
Semakin baik akhlak seseorang terhadap sesama manusia dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu adalah orang yang berakal. Sebaliknya, semakin buruk akhlak seseorang terhadap sesama dan terhadap Allah SWT, bisa dipastikan orang itu tidak berfungsi akal sehatnya.
Lebih jauh orang berakal adalah orang yang paling ingin mendapat cinta dari Allah dan Rasul-Nya. Rasulullah SAW bersabda, “Orang yang paling kucintai dan yang paling dekat denganku pada hari kiamat nanti adalah yang paling baik akhlaknya, yaitu yang tawadhu’ yang mencintai dan dicintai” (HR. Thabrani).
Di dalam Al Qur'an, orang yang berakal disebut sebagai Ulul Albab. “Yaitu orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka” (QS. Ali Imran [3]: 191).
Dengan demikian dapat dipahami, orang berakal bukanlah orang yang semata-mata kaya, tetapi orang yang memanfaatkan siang dan malamnya untuk dzikir dan pikir, sehingga tidak bertambah usia melainkan bertambah baik keimanan dan ketakwaannya, serta semakin baik pula akhlaknya baik kepada sesama maupun kepada Allah SWT.
Oleh : Imam Nawawi