Menurut Wayan Kawen, Wayang Lemah adalah salah satu wayang dari tiga macam wayang yang disakralkan di Bali. Tiga wayang dimaksud adalah Wayang Sapu Leger, Wayang Suddhamala dan Wayang Lemah. Ketiga wayang itu mempunyai persamaan fungsi yaitu : “ngruat”. Diantaranya wayang Sapu-Leger lah yang paling angker dan paling berat, baik bagi Ki Dalang maupun bagi yang berkepentingan, sedang fungsinya khusus untuk ngruwat kelahiran (manusa yadnya), yaitu marisuddha (ngruwat) orang yang dilahirkan pada wuku wayang. Wayang Suddhamala dan wayang Lemah itu mempunyai fungsi lebih umum, yaitu manusa yadnya, pitra yadnya, dewa yadnya, buta yadnya dan resi yadnya.
Sesuai dengan namanya wayang Lemah semestinya dipentaskan pada siang hari sejalan dengan yadnya yang diiringinya, karena fungsi utamanya adalah mengiring Panca yadnya yaitu : Manusa yadnya, Pitra yadnya, Dewa yadnya, Bhuta yadnya dan Resi yadnya. Akan tetapi apabila yadnya itu dilakukan dikala malam hari, wayang Lemahpun dipentaskan pada malam hari pula (beriringan dengan jalannya yadnya).
Pementasan baik dikala siang maupun pada malam hari tidak mempergunakan kelir (layar putih) melainkan mempergunakan kelir benang tukelan direntangkan susun tiga masing-masing berisi uang 11 kepeng, diikatkan pada dua ranting dadap cabang tiga yang terpancang pada kedua belah ujung gedebong pentas yaitu sebelan menyebelah dan tidak memakai lampu belencong.
Bebanten (sajen) pementasannya yang pokok, ialah suci asoroh dengan guling itiknya, ajuman putih kuning, canang gantal, lenga –wangi buratwangi, Daksina Gede serba empat, sarma 8100 kepeng, Segehan Gede, Pedupaan dan tetabuhan arak berem. Bahan air suci sama dengan persediaan pada wayang Sapu Leger, dipuja setelah pementasan selesai. Hasilnya dipercikkan oleh Pengacara yadnya atau oleh Ki Mangku Dalang sendiri kepada apa yang diupacarai.
Apabila dalam rangkaian upacara Manusa yadnya, telu-bulanan misalnya air suci dipercikkan kepada bayi yang diupacarai. Apabila dalam rangkaian Dewa yadnya, melepaskan sanggar Pemerajan, Pelinggih-Pelinggih misalnya air suci diarahkan kepada bangunan yang dipelaspas itu.
Pemakaian lakon wayang Lemah disesuaikan dengan jenisnya yadnya umpama untuk mengiringi Dewa yadnya diambilkan dari ceritra Dewa Ruci atau Maha Bharata (Parwa), misalnya Wana Parwa yang isinya mengandung ungkapan2 bahwa Dewa-Dewalah penegak kebenaran dan keadilan. Apabila untuk manusia yadnya, Pitra yadnya, Bhuta yadnya, Resi yadnya dicukilkan dari Maha Bharat (Asta Dasa Parwa), Bhima Suarga dan Dewa Ruci. Selesailah sudah mengungkapkan garis-garis besar dari wayang Lemah.