Pengertian Wayang Banjar

Pengertian Wayang Banjar

Menurut pendapat para pakar budaya maupun praktisi wayang di Banjarmasin, menyatakan bahwa Wayang kulit Banjar berasal dari wayang kulit purwa yang ada di Jawa. Namun secara ilmiah sulit ditelusuri, kapan wayang kulit purwa dari Jawa tersebut masuk ke Banjarmasin.
Ada informasi tertulis tentang asal mula masuknya wayang kulit purwa ke Banjarmasin yang terdapat dalam Hikayat Lambu Mangkurat. Hikayat Lambu Mangkurat ini diperkirakan ada sebelum tahun 1815 dalam bentuk oral, sebelum disalin ke dalam buku. Pada tahun 1815, atas perintah Raffles kepada Sultan Pontianak diadakan penyalinan Hikayat Lembu mangkurat. Pada tahun 1815 J.J. Meyer juga mengadakan penyalinan Hikayat Lambu Mangkurat.
Dalam Hikayat Lambu Mangkurat diceritakan, Raden Sekar Sungsang anak Kabu Waringin dari kerajaan Dipa setelah dewasa pergi ke pulau Jawa. Kerajaan Dipa ini berada di daerah Amuntai Hulu Sungai Utara, dikenal daerah Candi Agung. Selama di pulau Jawa, R. Sekar Sungsang mempelajari berbagai seni budaya, antara lain : seni wayang kulit purwa, tari topeng dan karawitan. Setelah mampu menguasai ketiga kesenian tersebut, Sekar Sungsang kembali ke Banjarmasin dengan membawa segala alat pendukungnya yakni : satu tabela (peti) wayang, satu tabela (peti) topeng dan satu set (pajak) gamelan.
Di Banjarmasin, Sekar Sungsang mulai mengembangkan kemampuan seninya. Langkah pertama yang dilakukan Sekar Sungsang ialah mengajarkan seni karawitan. Setelah dipandang mampu, Sekar Sungsang mempergelarkan seni wayang kulit purwa.
Cerita dalam Hikayat Lembu Mangkurat tersebut diatas dapat disimpulkan bahwa R. Sekar Sungsanglah yang pertama kali membawa seni budaya wayang kulit purwa ke Banjarmasin, namun waktunya tidak disebutkan kapan R. Sekar Sungsang ini ke pulau Jawa dan kapan kembalinya ke Banjarmasin? Dalam Hikayat Lembu Mangkurat tidak disebutkan apa tujuan sebenarnya R. Sekar Sungsang ke pulau Jawa, dan di kota/kerajaan mana yang dituju serta kepada siapa ia belajar kesenian?
Menurut Suwedi Montana yang mengutif dalam Hikayat Banjar menyatakan bahwa terdapat tiga episoda yang berkenaan dengan pertunjukan wayang dan upeti berbentuk wayang yakni :
  1. Episode ketika Lambu Mangkurat datang ke Majapahit untuk mencari calon mempelai laki-laki bagi Putri Junjung Buih. Ia disambut dengan berbagai pertunjukan diantaranya : barwayang wong (wayang orang), barwayang purawa (wayang purwa) dan barwayang gadogan (wayang gedog).
  2. Episode perkawinan antara Pangeran Suryanata dari Majapahit dengan putri Junjung Buih di Nagara Dipa. Dalam peristiwa itu ada pertunjukan keramaian tujuh hari tujuh malam, di antaranya : barwayang wong, barwayang gadogan dan barwayang purawa.
  3. Episode ketika Ki Mas Lalana yang memberikan hadiah bermacam-macam barang kepada Raja Putri Kalungsu, di antaranya wayang gadogan satabla (satu terbela, satu peti/satu kotak), wayang purawa satabla, dan wayang topeng satabla. Ki Mas Lalana sebenarnya adalah putra Putri Kalungsu itu sendiri yang melarikan diri ketika masih berusia 6 tahun karena kepalanya dipukul oleh ibunya dengan senduk juwadah. Ia pergi ke Surabaya dan setelah dewasa kembali ke Banjarmasin dalam hal ini negara Dipa, ikut bersama Dampuawang. Ia bersedia dikawinkan dengan Putri Kalungsu, selanjutnya terjadi musibah mirip dengan cerita sangkuriang Jawa Barat.

Pendapat lain mengenahi masuknya wayang ke Banjarmasin adalah pada zaman Demak. Menurut tradisi, Banjarmasin diislamkan oleh Khatib Dayan seorang penghulu Demak. Pertama kali yang diislamkan adalah R. Samudra, yang kemudian setelah menjadi muslim bergelar Sultan Suriansyah. Islamisasi itu sebagai syarat yang harus dipenuhi oleh Raden Samudra. Sultan Demak bersedia membantu menggempur Pangeran Tumanggung, paman R. Samudra, dengan syarat R. Samudra bersedia masuk Islam (J.J. Ras, 1968 : 428). Islamisasi yang diceritakan dalam tradisi itu bersifat anakronistis, sebab R. Samudra memerintah pada tahun 1595-1620 (Iduar Saleh, 1960 : 102). Pada masa itu Kesultanan Demak tidak berdaya lagi karena sudah dua kali pindah ke Pajang dan Mataram. Masa itu sejaman dengan pemerintahan Panembahan Senapati di Mataram (1586-1601). Apabila benar pengislaman atas Banjarmasinn itu dilakukan oleh penghulu Demak bersama laskarnya, maka hal itu bertentangan dengan situasi pada saat itu. Kesultanan Demak sudah tidak berfungsi, sehingga tidak mungkin mengirimkan pasukan kecuali atas perintah dari Panembahan Senapati Mataram. Dalam peristiwa islamisasi yang diikuti oleh kekuatan militer itu bukan mustahil bahwa militer Jawa membawa seni pertunjukan wayang yang kemudian populer di Kalimantan Selatan.

Dalam kehidupan masyarakat Kalimantan Selatan, seni tradisional khususnya wayang Banjar memiliki peranan yang sangat penting, selain sebagai alat hiburan juga digunakan sebagai alat pendidikan dan penerangan serta untuk upacara-uparaca ritual seperti upacara sampir atau batatamba yang lebih bersifat magis religius.

Unsur Cerita/Lakon

Pada wayang Banjar terdapat tiga sumber pakem lakon/cerita yakni : Pakem Mahabharata, Pakem Kaling dan Pakem Ramayana. Disamping ketiga pakem di atas para dalang lebih banyak memainkan lakon carangan yang diambil dari cerita dalam syair, hikayat atau kisah. Pada permulaan abad ke 20, Kalimantan Selatan merupakan pusat sastra klasik Banjar yang berkembang ke luar daerah antara lain Kutai di Kalimantan Timur. Penyair dan penulis hikayat menggunakan bahasa sastra Melayu tetapi dialek banjarnya kerap dipakai bila dalam syair itu muncul panakawan yang sedang melucu dan berpantun. Jenis syair dan hikayat yang masih dikenal pada permulaan abad ke 20 antara lain : hikayat Indra Bangsawan, syair Brama Syahdan, syair Madi Kencana, syair Tijadewa, syair Siti Zubaidah, syair Umi Kalsum, syair Abdulmuluk, syair Nyiur Kuning, syair Kelapa Tindan.

Aspek Bahasa

Bahasa Banjar pada dasarnya adalah bahasa Melayu tetapi sudah bercampur dengan bahasa Jawa dan bahasa Dayak. Bahasa Jawa yang masuk ke dalam bahasa Banjar berasal dari abad XVI yaitu bahasa Jawa Tengahan (Poerbatjaraka, 1952 : 57). Kata-kata dari bahasa Jawa yang diserap dalam bahasa Banjar tidak hanya kata-kata istilah melainkan justru kata-kata budaya (cultural words) yang erat dengan kehidupan sehari-hari seperti : ulun (saya), sempiyan (anda), kaula (saya), andika (anda), dan ungkapan serta sintaksis Jawa. Orang akan heran mendengar ucapan mengedelon yang berasal dari kata ka-dalu-an (Jawa) artinya terlambat atau kadaluwarsa, padahal dalam bahasa Jawa kadalon berarti ranum untuk buah. Demikian pula kata undamana di dalam bahasa Jawa sudah menjadi bahasa archais dalam kasusastraan. Dalam bahasa Banjar undamana dalam kata taundamana (ta-ter) berarti disia-siakan. Sebagai gambaran mengenahi betapa besarnya pengaruh bahasa Jawa dalam bahasa Banjar dapat dilihat dalam Hikayat Banjar. Hikayat Banjar itu terdiri atas 4784 baris kalimat tetapi kata-kata Jawa yang terdapat di dalamnya sebanyak 4614 buah yang terdiri dari 2257 kata dasar, 548 nama diri dan 2357 kata jadian yang berasal dari kata dasar tersebut.
Melihat besarnya pengaruh bahasa Jawa dalam bahasa Banjar barangkali wayang Banjarpun merupakan salah satu manifestasi pengaruh budaya Jawa di sini. Memang dalam wayang Banjar dipergunakan bahasa Melayu banjar dan bahasa Kawi. Tetapi bahasa kawi yang diucapkan oleh ki dalang Banjar itu sudah tidak jelas lagi meskipun masih bisa ditelusuri asal-usulnya. Hal itu mudah dipahami sebab bahasa kawi adalah bahasa asing bagi mereka dan setelah berabad-abad bisa saja ucapannya bergeser dan bertambah sulit dimengerti bahkan ki dalang itu sendiri sudah tidak tahu arti dari bahasa kawi yang diucapkan. Ungkapan-ungkapan kawi itu sudah menjadi pola dalam konteks cerita yang tak dapat dihindarkan. Misalnya dalam pergelaran pada saat kalah perang ki dalang akan berlagu :”Murdur kapilayu.....”. Ungkapan itu jelas berasal dari mundur kaplayu-mundur kalah. Atau ada ucapan ki dalang : “Sigra ka tuminga...” pada waktu adegan di medan perang. Kalimat itu jelas tidak lengkap sebagaimana aslinya sigra bala kang tumingal-segera tampaklah bala tentara.
Dialog wayang Banjar mempergunakan bahasa Banjar tetapi pada sebutan-sebutan yang bersifat kekeluargaan dipergunakan bahasa Jawa. Misalnya dialog antara Arjuna dengan Sembadra di bawah ini:

Arjuna : Adingmas, kakangmas handak tulak ka Amarta handak menghadap kakangmas Puntadewa. Kakangmas handak meminta pitunjuk beliau gasan menghadapi gawi besar.
Sembadra : Kakangmas, ulun kada handak ditinggal, ulun handak lumpat lawan sampian manghadap kakangmas Puntadewa jua.



Artinya :

Arjuna : Adinda, kanda akan pergi ke Amarta akan menghadap kakanda Puntadewa akan mohon petunjuk beliau untuk menghadapi pekerjaan besar.
Sembadra : Kakanda, hamba tidak mau ditinggal, hamba akan ikut dengan kakanda menghadap kakanda Puntadewa juga.

Share this:

Related Posts
Disqus Comments