Wayang Gedog, bukan mengisahkan cerita Ramayana atau Mahabarata, melainkan mengambil inti cerita Kisah Raden Panji. Dalam wayang itu, kerajaan-kerajaan yang menjadi latar belakang pemerannya antara lain Jenggala, Singasari, dan Kediri atau Daha.
Pergelaran Wayang Gedog juga lazim dilaksanakan pada malam hari, dengan bahasa Jawa sebagai pengantar. Gamelan pengiringnya memakai laras pelog.
Bentuk peraga Wayang Kulit Gedog, mirip sekali dengan Wayang Kulit Purwa. Bentuk sumping, dodot, tangan, dan kakinya sama, hanya bentuk sunggingan dan tatahannya yang berbeda. Beberapa tokoh Wayang Kulit Gedog memakai irah-irahan (tutup kepala) berbentuk tekes, serta kainnya berbentuk rapekan atau dodot, misalnya tokoh Panji Inukertapati. Sementara itu, tokoh putri rambutnya terurai.
Menurut Serat Centini yang menciptakan Wayang Gedog adalah Sunan Ratu Tunggul, zaman Kerajaan Demak, dengan candra sengkala: Gaman Naga ing Udipatya. Ini melambangkan angka tahun Saka 1485. Cerita mengenai perjalanan hidup Damarwulan dimasukkan dalam Wayang Gedog oleh Sunan Bonang pada tahun 1488 Saka.
Namun, dalam perkembangannya, Wayang Gedog kurang mendapat sambutan dari masyarakat pencinta wayang, kalah dari Wayang Purwa. Pementasannya amat jarang dilakukan. Hingga akhir abad ke-20, generasi muda sangat kurang akrab dengan jenis wayang ini.
Patut dicatat, Keraton Kasunanan Surakarta se-benarnya mempunyai perhatian cukup besar dalam usaha pelestarian Wayang Gedog ini. Beberapa karya seni yang berkaitan dengan Wayang Gedog lahir berkat prakarsa beberapa bengsawan keraton tersebut.
Pada zaman pemerintahan Paku Buwana IV (1788-1820) dibuat beberapa perangkat Wayang Kulit Purwa, dan juga Wayang Gedog. Perangkat Wayang Gedog ini diberi nama Kyai Dewakatong. Selain itu juga disu-sun sulukan untuk Wayang Gedog, yang cakepannya mengambil dari Kitab Baratayuda.
Untuk keperluan iringan karawitan juga dibuat perangkat gamelan khusus mengiringi pergelaran Wayang Gedog, yang dinamakan Kyai Jayengkaton.
Pergelaran Wayang Gedog pada zaman itu, dilaksanakan antara lain pada upacara perkawinan putra atau kerabat raja, yaitu pada malam midodareni. Selain itu juga pada upacara selapanan pengantin.
Pada zaman pemerintahan Sunan Paku Buwana X (1893 – 1839), pergelaran Wayang Gedog tidak lagi hanya pada acara perkawinan, juga pada malam tuguran, yaitu sewaktu raja keluar kota untuk beberapa hari, dan pada upacara wiyosan (hari kelahiran raja).
Abdi dalem dalang Wayang Gedog pada zaman itu adalah Ki Madyacarita dan Ki Hawicarita.
Pada 1964, Konservatori Karawitan Surakarta, mulai menggali kembali Wayang Gedog ini, dan dipergelarkan dengan lakon Jatipitutur. Dalangnya waktu itu adalah Ki Jagapradangga.
Inilah pertama kalinya Wayang Gedog dipergelarkan di luar keraton.
Kemudian mulai tahun 1974, pakeliran Wayang Gedog dijadikan salah satu mata kuliah di Akademi Seni Karawitan Indonesia (ASKI) Surakarta. Sejak itu Wayang Gedog mulai lagi agak sering dipentaskan.
Selain itu Wayang Gedog juga dikembangkan di Pusat Kebudayaan Jawa Tengah. Pada tahun 1970, instansi ini dua kali seminggu menggarap lakon Srenggi Nimpuna, dengan dalang Ki Madya Pradangga.
Tahun 1994, Pura Pakualaman di Yogyakarta juga mementaskan Wayang Gedog itu, dalam rangka Festival Keraton II.
Bedanya dengan Wayang Kulit
Secara teknis pedalangan, Wayang Gedog lebih rumit dibandingkan dengan Wayang Kulit Purwa. Dalang Wayang Gedog harus menguasai gending-gending yang digunakan untuk iringan pertunjukan.
Berikut ini adalah dua di antara beberapa perbedaan antara pakeliran Wayang Gedog dengan wayangkulit Purwa.
1. Pada pakeliran Wayang Kulit Purwa, pada jejer pertama, diawali dengan munculnya parekan, sang Raja, dan tokoh-tokoh yang menghadap raja. Sedangkan pada Wayang Gedog, yang muncul pertama adalah patih dan para punggawa, kemudian raja dijemput lewat tokoh Nyi Menggung. Sang patih diiringi punggawa lalu naik ke Sitihinggil diikuti ampil-ampil yang membawa kelengkapan upacara, baru setelah itu sang Raja keluar.
1. Adegan Bancak-Doyok dalam Wayang Gedog setara dengan adegan gara-gara pada Wayang Kulit Purwa. Namun, pada adegan Bancak-Doyok, digunakan iringan pathet manyura pelog, yang merupakan peralihan dari pelog pathet nem (tengah malam) ke pelog pathet barang (dini hari).